cari yang ingin kamu baca

Selasa, 06 Desember 2011

Studi Masyarakat Indonesia

PERAN BADAN REINTEGRASI DAMAI ACEH (BRDA) DALAM PROSES DISARMAMENT, DEMOBLITATION, DAN REINTEGRATION DI ACEH PASCA PERJANJIAN HELSINKI 2005

Pendahuluan
Perjanjian damai RI dan GAM di tandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki (dunia Internasional). Momentum Emas yang terkenal dengan nama Period Gold merupakan bagian yang terkait dengan adanya keberhasilan menyelesaikan konflik melalui Negosiasi. Terdapat pula kesepahaman yang menjadi entry point untuk mencapai Aceh yang aman, damai, adil, dan sejahtera dengan melaksanakan seluruh butir-butir nota kesepahaman secara benar dan utuh oleh pihak-pihak yang bertikai antara RI dan GAM. Bahkan bagian-bagian dari Nota Kesepahaman tersebut membantu proses reintegrasi Aceh, yang meliputi kemudahan ekonomi, rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur dan rusak akibat konflik, serta alokasi tanah pertanian, pekerjaan, dan jaminan sosial.
Pengalaman internasional tersebut menunjukan bahwa terjadi peralihan dari kehidupan militer ke kehidupan masyarakat bisa menimbulkan masalah dan berbagai kelompok, termasuk perempuan sehingga berakibat pada proses penyisihan diri. Upaya pemerintah dalam memulihkan masyarakat Aceh dan aspek-aspeknya pasca konflik dapat di lihat dari berbagai upaya, di antaranya:
1. Penyaluran dana reintegrasi dan tanah pertanian kepada Eks Kombatab GAM
2. Menyediakan dana reintegrasi 200 M dan dana APBN sebesar 600 M. dana reintegrasi tersebut untuk dua waktu yaitu jangka pendek sebnesar satu juta/bulan dan jangka panjang untuk membantu Eks Kombatan GAM dalam upaya pemulihan kehidupannya.
Terdapat kendala dalam penyaluran danan reintegrasi kepada Eks Kombatan GAM, yaitu Pemerintah dan lembaga donor internasional menginginkan mekanisme yang transparan agar dapat dipertanggungkawabkan sedangkan GAM menginginkan agar nama-nama Eks kombatan GAM dan pasukannya tetap terjaga. Sehingga akhirnya pemerintah menawarkan dana di terima lansung oleh eks kombatan GAM secara pribadi, sesudah mereka mendaftarkan diri di Dinas Sosial setempat dan setelah perwakilan GAM yang melakukan verifikasi membenarkan nama tersebut adalah eks kombatan GAM. Pemerintah juga menawarkan cara dengan mantan komandan lokal GAM menyampaikan daftra nama eks kombatan kepada AMM yang merahasiakannya dan hanya menyebutkan jumlah kepada pejabat Dinas Sosial setempat, untuk selanjutnya dana reintegrasi di serahkan kepada Eks kombatan lokal untuk dibagikan eks kombatannya, yang menyaksikan penyerahan dana tersebut. Pemerintah akhirnya lunak dalam penawaran yang kedua dengan dana sebesar Rp. 1 juta/kombatan GAM.
Tujuan DDR
 Tujuan dari DDR sendiri adalah keamanan yaitu terbatas pada “mengeluarkan elemen-elemen yang memiliki potensi berbahaya dari masyarakat”. Tujuan tersebut sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara tujuan-tujuan keamanan dan sosial ekonomi yang dikaitkan dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi Aceh yang spesifik.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Ekonomi
 Konflik bersenjata di Aceh telah mengakibatkan berbagai hal yang semuanya berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat Aceh, di antaranya mengikis aset-aset produktif baik di pedesaan maupun perkotaan, dan pelaku ekonomi formal maupun informal, menghancurkan tempat kerja dan memperlemah pasar kerja, pelatihan, dan lembaga-lembaga lain yang terkait dengan ketenagakerjaan, menghancukan tanaman dan mungkin mengurangi produktifitas lahan melalui ranjau darat anti personil, mengakibatkan kerusakan yang cukup berarti terhadap infrastruktur fisik, sosial, dan ekonomi, menghambat kesempatan kerja yang produtif, dan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan, jaringan perdagangan terhambat dan investasi di sektor publik dan swasta menurun.
Ketidakstabilan ekonomi makro yang menjadi karakter konteks konflik dan pasca konflik terus membatasi kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yamg layak. Akibatnya banyak pengangguran terbuka dan terselubung, serta merosotnya kondisi ketengakerjaan dan pendapatan yang tajam. Tantangan selanjutnya bagi pemerintah adalah bahwa komponen reintegrasi (para anggota DDR dan para seluruh organisasi pemulihan dan pembangunan) dalam program-program DDR harus dikaitkan dengan proses-proses pemulihan dan rekontruksi social ekonomi yang lebih luas. Hal ini memberikan implikasi bahwa pemerintah akan menyusun sebuah mekanisme koordinasi yang efektif yang melibatkan seluruh kementerian yang terkait dengan reintegrasi.

Implementasi dan Hambatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
DDR pada umumnya kekurangan alat-alat untuk menegakkan aturan karena tidak adanya angkatan kepolisian lokal sehingga mengakibatkan kemampuannya terbilang lemah. Hal ini bisa di lihat dari usaha kecil bagi kelompok-kelompok dan gang-gang bersenjata para gerilyawan untuk berbisnis. Fokus utama DDR secara ekslusif adalah pada anggota gerilyawan yang semata-mata terlibat dalam konflik agar mampu mengembalikan identitas masing-masing. Program DDR menjadikan mantan gerilyawan dan penduduk lain yang terkena dampak perang sebagai target bersama-sama dalam satu proyek/program telah berhasil mengurangi rasa tidak percaya dan meningkatkan toleransi antara kelompok-kelompok yang terkena dampak konflik serta mendukung proses rekonsiliasi dan reintegrasi.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Sosial dan Budaya
 Program reintegrasi menitikberatkan pada mantan gerilyawan dan komunitas penerima di Aceh. Dalam hal ini pemerintah penting untuk memahami apa yang ingin di capai para gerilyawan dalam kehidupan di luar dari keinginan untuk segera memperoleh kehidupan. Melalui implementasi di bidang ekonomi yaitu penciptaan kesempatan kerja telah terbukti mencapai keberhasilan. Hal itu harus dibarengi dengan berbagai upaya dari para gerilyawan sehingga mereka dapat memperoleh manfaat dari pekerjaan-pekerjaan yang diciptakan untuk mereka.\
Evaluasi Keberhasilan BRDA
 Program dari BRDA sendiri adalah DDR (disarmament, demobilition, dan reintegration). Pada disarmament melakukan pelucutan senjata pasukan militer GAM dan pembubarab struktur militer GAM, tahap demobilition melakukan pemulangan pasukan keamanan Indonesia, sedangkan tahap reintegration di nilai relative kurang optimal yang disebabkan melemahnya bidang hukum dan budget BRDA. Hal ini di sebabkan beberapa hal, di antaranya:
1. Lembaga BRDA di bentuk dengan sendirinya tanpa perintah presiden diman aseharusnya di pakai sebagai payung hukum
2. BRDA harus memiliki hak untuk mengelola anggaran sendiri
3. BRDA bersama stakeholder temasuk lembaga-lembaga donor yang sangat berkepentingan dengan proses reintegrasi segera menyelesaikan cetak-biru perdamaian dan pembagunan Aceh.

B. ANALISIS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI KONFLIK DAN TEORI INTEGRASI
Dari penjelasan yang ada di atas, maka permasalahan dari program-program DDR oleh BRDA di Aceh sebenarnya dapat di analisis menggunakan teori konflik. Seperti halnya consensus, konflik juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Ia berlaku dalam semua aspek relasi sosial yang bentuknya bisa berupa relasi antar individu, relasi individu dengan kelompok, ataupun antara kelompok dengan kelompok.
Lewis A.Cooser mendefinisikan konflik sebagai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status kekuaaan, pengumpulan sumber materi atau kekayaan yang langka, dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak hanya di tandai dengan perselisihan tetapi juga berusaha untuk memojokan. Merugikan, atau perlu menghancurkan pihak lawan. Menurut Coser, ada alternative lain yang dapat digunakan sebagai upaya untuk menyelamatkan Aceh dari konflik yang berkepanjangan tersebut yang kita sebut dengan katup penyelamat (savety value), diantaranya dengan:
1. Mencari jalan keluar untuk meredakan konflik.
Dalam hal ini, pemerintah indoneia selalu mencari jalan keluar agar konflik bersebjata yang terjadi di Aeh dapat segera terselesikan, krena bagaimanapun konflik tersebut sangatlah merugikan indonesiaterutama di mata internasional. Oleh karena itu, Indonesia selalu mencari jalan keluar agar permaslahan konflik tersebut.
Untuk meredam konflik yang ada, salah satu ja;an keluar untuk meredakan konflik adalah dengan jalan damai dengan melakukan perjanjian damai di Helsinki. Perjanjian tersebut ditandatangani paa tanggal 15 Agustus 2005.
2. Mencegah terjadinya konflik yang lebih besar yang dapat merusak struktur.
Indonesia adalah sebuah system dimana di dalamnya terdapat aturan dan srtuktur yang jelas. Adanya konflik bersenjata yang terjadi di Aceh, membuat Indonesia mengalami kerugian yang besar termasuk bagi masyarakat sipil. Banyak aspek-aspek kehidupan yang rusak dan hancur bahkan sampai menimbulkan korban meninggal. Maka dari itu, dilakukan usaha preventif agar konflik yang terjadi dapar teredam dan tidak merusak fasilitasa dan struktur yang ada serta menimbulkan korban mati semakin banyak.
3. Mengakomodasi ketidakpuasan
Pemerintah dalam upaya pemulihan Aceh pasca konflik dan tsunami selalu berupaya agar masyarakat dan eks kombatan GAM yang ada di Aceh mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan mereka sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Hal ini terlhat dalam pemberian dana yang dikeluarkan untuk jangka panjang dan jangaka pendek (sebesar Rp 1 juta/bulan) tehadap eks kombatan GAM sesuai prosedur yang ada dalam perjanjian yaitu mantan komandan lokal GAM menyampaikan daftar nama eks kombatan kepada AMM yang merahasiakannya dan hanya menyebutkan jumlah kepada pejabat Dinas Sosial setempat, untuk selanjutnya dana reintegrasi di serahkan kepada Eks kombatan lokal untuk dibagikan eks kombatannya, yang menyaksikan penyerahan dana tersebut.
Masalah integrasi yang terjadi di Aceh selain dapat di dekati dengan teori konflik juga dapat didekati dengan menggunakan teori integrasi dengan pendekatan struktur fungsional. Talcott Parson memandang masyarakat sebagaisuatu sistem sosial yang harus memenuhi empat syarat agar sistem tersebut berfungsi dengan baik atau kita sebut dengan konsep AGIL, yaitu:
a. Adaptation
Penyesuaian masyarakat dengan lingkungan. Pasca perjanjian yang dilakukan di Helsinki, maka masyarakat setempat harus beradaptasi dengan lingkungan walupun masih ada sebagian dari masyarakat tersebut yang merasa trauma akibat dari konflik bersenjata tersebut. Adaptasi harus dilkukan agar kehidupan dapat berjalan seperti biasanya dan sesuai dengan aturan dan nilai-nilai yang ada sehingga sistem pemerintah Indonesia berjalan dengan baik.
b. Goal attachment
Mempunyai dan mencapai tujuan adalah salah satu yang harus ada di Indonesia khususnya di Aceh pasca konflik. Dengan melakukan perjanjian damai di Helsinki, dan adanya Nota Kesepahaman yang menjadi entry point untuk mencapai Aceh yang aman, damai, adil, dan sejahtera.
c. Integration
Diharapkan mampu bersatu agar dapat melakukan kerja sama agar menghasilkan tujuan yang ingin di capai bersama sehigga tidak ada yang dirugikan. Sikap dari para anggota GAM untuk melakukan perdamaian dengan RI tentunya sangat baik, hal ini dapat di lihat dari penandatanganan tehadap Nota Kesepahaman antar kedua belah pihak yaitu GAM dan RI.
d. Latent
Fungsi ini adalah kemampuan mempertahankan identitasnya terhadap kegoncangan dan ketegangan yang timbul dari dalam. Pasca konflik dan pasca tsunami diharapkan masyrakat setempat dapat memelihara keamanan yang sudah tercipta dengan baik agar tidak terjadi konflik bersenjata yang berkepanjangan lagi. Pola ini harus di sadari oleh semua elemen yang ada di masyarakat secara keseluruhan agar tercipta Indonesia yang aman dan sejahtera dalam menjalankan sebuah sistem pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar