cari yang ingin kamu baca

Kamis, 15 Desember 2011

Penulisan Karya Ilmiah


POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA PENJAGA KOS
(Kasus pada Keluarga penjaga kos di kelurahan Sekaran kecamatan Gunungpati kota Semarang)

A.    LATAR BELAKANG
Secara tradisional, keluarga merupakan unit sosial yang terkecil dari masyarakat dan merupakan suatu sendi dasar dalam organisasi sosial. Keluarga merupakan kelompok soaial yang pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial di dalam hubungan dalam kelompoknya. Di samping itu, keluarga adalah kesatuan sosial yang terkecil yang terdiri atas suami. istri, dan jika ada anak-anak yang didahului oleh perkawinan. Memang salah satu faktor mengapa individu itu membentuk keluarga adalah mengharapkan anak atau keturunan. Tetapi itu bukan merupakan satu-satunya faktor yang menetukan. Di samping faktor mengharapkan keturunan ada faktor-faktor yang menyebabkan membentuk keluarga yaitu:
1.      Memenuhi kebutuhan biologis atau kebutuhan seks.
2.      Memenuhi kebutuhan sosial, status, penghargaan, dan sebagainya.
3.      Pembagian tugas.
4.      Demi hari tua kelak, yaitu pemeliharaan di hari tua artinya setelah anak dewasa anak berkewajiban untuk memberikan kasih sayang kepada orang tua.
Hubungan antara orang tua dan anak sangat penting artinya bagi perkembangan kepribadian anak, sebab orangtualah yang merupakan orang pertama yang dikenal oleh si anak. Melalui orang tua, anak mendapatkan kesan-kesan pertama dalam mengenal dunia luar. Orang tualah yang merupakan orang pertama yang membimbing tingkah laku anak. Terhadap tingkah laku anak berpengaruh dalam diri anak yang akan membentuk norma-norma sosial, norma-norma susila dan norma-norma tentang apa yang baik dan buruk serta yang boleh atau tidak boleh.
Keluarga merupakan lingkungan yang penting dalam proses kehidupan seorang anak. Kegiatan pengasuhan anak dilakukan orang tua sebagai usaha untuk membesarkan anak dan mendidik anak. Pada dasanya, pengasuhan yang dilakukan dalam lingkungan keluarga mempunyai berbagi pola tertentu. Kegiatan  pengasuhan anak memiliki tiga pola yaitu pola otoriter, pola permisif dan pola demokratis. Pada pola otoriter pada umumnya orang tua memiliki wewenang penuh untuk mengatur anaknya dan anknya tersebut harus patuh. Pola permisif lebih menerapkan kebebasan pada sang anak dalam keluarga. Sedangkan pada pola demokratis lebih cenderung pada asas keserasian pada keinginan orang tua dan anak. Keanekaragaman pola pengasuhan anak pada dasarnya ditentukan oleh latar belakang kehidupan diri dari orang tua itu sendiri yang meliputi latar belakang secara sosial maupun ekonomi. Dari berbagai bentuk pola pengasuhann keluarga yang ada inilah yang kemudian menjadi satu titik awal terbentuknya karakter yang begitu kompleks dari diri seorang anak dalam satu masyarakat. Apakah perbedaan latar belakang tersebut akan berpengaruh pada cara dan tugas ibu dan ayah mengasuh anak dan bagaimana perilaku anak yang ditampilkan dengan perbedaan pola asuh dari berbagai bentuk keluarga. Pertanyaan ini merupakan dasar awal ketertarikan penulis untuk meneliti pola asuh pada keluarga tertentu. Namun pada dasarnya orang tua selalu bertugas sebaik mungkin dalam mendidik anak karenan orang tua memilki suatu harapan dan tujuan yang ingin dicapai dikemudian harinya.
Keluarga mempunyai system jaringan interaksi yang lebih bersifat  interpersonal, dimana masing-masing anggota dalam keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama lain antara ayah dan ibu, ayah dan anak, dan ibu dengan anak, maupun antara anak dengan anak. Pada umumnya hubungan antara orang tua dan anak pada keluarga penjaga kos di sekaran cenderung intensif, artinya orang tua dapat selalu memperhatikan anaknya kapanpun sehingga anak-anaknya mendapatkan kasih sayang dan perawatan yang cukup dari orang tuanya. Bagaimanapun orang tua lebih dekat dengan anak-anaknya sehingga orang tua dapat ,mengamati dan mengenalinya anak-anaknya. Oleh karena itu, orang tua di beri pengertian mengenai proses-proses belajar dimasa dini hari. Mereka dapat membantu merangsang kesenangan belajar anak seumur hidupnya sekaligus meningkatkan kecerdasannya.
Hasil-hasill penelitian menunjukan bahwa mendidik anak-anaknya dengan cara-cara yang biasa ( tradisional ) dilakukan tanpa di sadari telah menghambat perkembangan mental anak. Cara-cara yang biasa ( tradisional ) yang di maksud yaitu anak dibiarkan berjam-jam dalam gendongan atau tempat tidur tanpa adanya variasi permainan dan orang tua yang penting si anak tidak menangis. Lain halnya dengan orang tua mengusahakan anaknya untuk bermain, dimana si anak diberi kesempatan untuk mendapat banyak pengalaman yang merangsang, si anak akan cepat “ belajar untuk belajar”. Anak akan terdorong untuk senang belajar, namun pada kenyataannya di desa banyak sekali orang tua yang membiarkan anak-anaknya berjam-jam di tempat tidur atau di gendong.
Kelurahan Sekaran merupakan salah satu wilayah yang di dalam masyarakatnya merupakan masyarakat penjaga kos sekaligus pemilik kos karena wilayah ini merupakan wilayah yang banyak di huni oleh masyarakat pendatang dari luar daerah sekaran. Tentu saja pendatang tersebut membawa kebudayaan dan pola piker yang berbeda-beda sehingga perlu adanya pengawasa khusu agar anak-anak dari penjaga kos tersebut tidak terpengaruh oleh budaya yang di bawa oleh masyarakat pendatang tersebut. Maka dari itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah pola asuh yang mana yang diterapkan oleh keluarga penjaga kos dalam mendidik dan membesarkan anak dan mengapa keluarga tersebut menggunakan pola tersebut.
Beberapa pertayaan yang muncul ini pada dasarnya membutuhkan jawaban yang lebih mendalam lagi dan di dukung dengan data yang ilmiah. Oleh karena itu, melalui rancangan penelitian ini penulis akan berusaha menggali lebih dalam lagi tentang pola asuh anak pada keluarga penjaga kos yang berada di kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati kota Semarang. Dengan beberapa pertimbangan yang sudah dipaparkan di atas, maka penulis menggunakan judul “ Pola asuh Anak dalam Keluarga Penjaga Kos ( Kasus di kelurahan Sekaran kecamatan kota Semarang).
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang yang ada di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1.      Bagaimana pola asuh yang diterapkan oleh keluarga penjaga kos kepada anak-anaknya?
2.      Bagaimana perbandingan peranan ibu dan peranan ayah dalam pengasuhan anak dalam keluarga penjaga kos?
3.      Bagaimana peranan kerabat luas ( kerabat luar ) dam pengasuhan nak dalam keluarga penjaga kos?
C.    TUJUAN
Berdasarkan pada permasalahan dii atas maka penelitian ini memilki tujuan untuk:
1.      Mengungkap pola asuh yng diterapkan oleh keluarga penjaga kos kepada anak-anaknya.
2.      Mengungkap perbandingan peranan ibu dan peranan ayah dalam pengasuhan anak dlam keluarga penjaga kos.
3.      Mengiungkap peranan keluarga luas ( kerabat luar ) dalam pengasuhan anak dalam keluarga penjaga kos.
D.    MANFAAT
1.      Manfaat Praktis
Penelitian yang dilakukan ini memiliki manfaat praktis yaitu memberikan informasi bagi masyarakat desa khususnya orang tua tentang pentingnya pembagian kerja antara ayah atau ibu  dalam pola pengasuhan anak sehingga diharapkan dapat memberikan masukan pada keluarga, masyarakat, serta instasi-instasi terkait sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran dalam peningkatan kualitas anak agar lebih mandiri.
2.      Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu-ilmu social lain khusunya sosiologi, serta dapat menambah wawasan dan informasi pada penelitian selanjutnya yang merasa tertarik dengan  kajian-kajian tentang keluarga terutama dalam keluarga petani dalam pola pengasuhan anak.



A.    Tinjauan Pustaka
Berbagai penelitian tentang pola asuh di dalam keluarga terutama di indonesia sudah banyak di lakukan dari berbagai segi yang menunjukan perpektif yang berbeda-beda dari beberapa penelitian. Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Rofik (2005), yang melihat pola pengasuhan anak yang dilakukan dalam keluarga petani di Desa Badakarya menunjukan bahwa keluarga petani tersebut mendidik anak-anaknya dengan cara yang biasa (tradisional) , tanpa disadari pola tradisional tersebut telah menghambat perkembangan mental anak. Para orang tua beranggapan bahwa anak mereka pada suatu  saat nanti pasti akan berkembang dengan sendirinya tanpa perlu ada bimbingan dan asuhan dari orang tua. Artinya, para orang tua tidak memperhatikan kegiatan anak-anak mereka sehari-hari sehingga anak menjadi kurang perhatian, kasih sayang, dan cinta kasih dari orang tua.
Sama halnya pola pengasuhan anak yang dilakukan oleh keluarga Mucikari dalam menerapakan budi pekerti luhur jawa oleh Ningrum (2008), bahwa dalam menerapkan budi pekerti luhur jawa, para perempuan mucikarilah yang lebih banyak berperan melalui pola pengasuhannya sebagai seorang ibu kepada anak-anaknya. Anak-anak tersebut mempunyai waktu yang sempit untuk berinteraksi langsung dengan Para Pekerja Seks Komersial melalui aktivitas sehari-hari anak kandung beserta keluarga mucikari tersebut. Itu artinya, bahwa masih ada pandangan bahwa dalam pola pengasuhan anak, perempuanlah yang berperan penting dalam membentuk kepribadian anak dan mendidik serta mengarahkan anak di masa depannya kelak. Serupa dengan penelitian sebelumnya, Muntohar (2009) mengemukakan bahwa pola asuh yang dilakukan oleh keluarga kyai cenderung lebih otoriter. Hal ini dikarenakan adanya anggapan yang mengatakan bahwa kyai mempunyai kedudukan yang agung dan tak terjangkau, terutama bagi kebanyakan orang awam. Sebagai seorang kyai dimana dia sebagai pengajar dan penganjur dakwah, dan juga sebagai orang tua maka ia berperan sebagai guru sekaligus pemimpin kerohaniahan keagaman serta tanggung jawab untuk perkembangan kepribadian maupun kesehatan jasmaniah anak didiknya..
Berbeda halnya penelitian yang dilakukan oleh Alfianti (2010), dikatakan bahwa dalam mengasuh anak-anaknya para ibu berusia muda tersebut mendidik anak-anaknya melalui proses sosial seperti dalam interaksi sosial dalam masyarakat. Ibu-ibu muda tersebut lebih memberi penghargaan dan hukuman kepada anak-anaknya ketika mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat. Ibu-ibu muda tersebut melakukan pernikahan dini karena adanya dorongan orang tua, pengaruh lingkungan sosial budaya, serta adanya faktor dari diri sendiri dimana mereka merasa sudah mapan dan ingin segera memilki keturunan.  Dengan demikian, lingkungan sosial baik itu keluarga dan masyarakat ternyata sangat berpengaruh dalam pola asuh yang dilakukan para ibu-ibu berusia muda tersebut.
Kebudayaan Jawa khususnya dalam keluarga Jawa dalam kegiatan pengasuhan anak menurut keterangan dari seorang antropolog yaitu Hildred Greetz dalam penelitiannya kepada keluarga Jawa mengemukakan bahwakeluarga Jawa dalam pengasuhannya membentuk suatu kepribadian yang unik dan berbeda dengan keluarga lainnya. Keeunikan tersebut tampak dari kepribadian anak dari orang Jawa yang memilki tiga prinsip dalam beraktivitas atau berperilaku, yaitu prinsip wedi, isen, dan sungkan. Ketiga prinsip ini adalah cerminan dari sikap hormat orang Jawa kepada sesama. Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enakk atas suatu tindakan. Isin dari sikap hormat merupakan suatu kesatuan. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukan rasa hormat yang tepat terhadap orang yang pantas untuk digormati. Perasaan isin dapat muncul dalam setiap situasi sosial. Sungkan adalah malu dalam arti yang positif. Berbeda dengan isin, perasaan sungkan bukanlah suatu rasa yang hendaknya di cegah (Suseno, 2001:63-65).
Karakteristik kepribadian setiap individu adalah unik dan berbeda-beda antara satu  dan lainnya. Hal ini disebabkan oleh banyak factor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan social terkecil, namun memiliki peranan yang sangat besar dalam mendidik dan membentuk kepribadian seseorang individu. Struktur dalam keluarga di mulai dari ayah dan ibu, kemudian bertambah dengan adanya anggota lain yaituu anak. Dengan demikian, terjadi hubungan segitiga antara orang tua-anak, yang kemudian membentuk suatu hubungan yang berkesinambungan. Orang tua dann pola asuh memiliki peran yang besar dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa kelak.
Orang tua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anak. Cara dan pola tersebut tentu akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. Pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Dalam kegitan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah, dan hukuman serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi kemudian menjadi kebiasaan pula bagi ank-anaknya.
Berikut ini ada tiga pola asuh yang berkaitan dengan perilaku remaja dan pengaruhnya terhadap anak, yaitu:
1.         Pola authoritative atau demokratis
Sikap orang tua yang mengontrol dan menurut tetapi dengan sikap yang hangat, ada komunikasi dua arah antara orang tua dengan anak yang dilakukan secara rasional. Orang tua memberiak pengawasan terhadap anak dann control yang kuat serta doronga yang positif. Anak yang di asuh secara demokratis cenderung aktif, berinisiatif, tidak takut gagal, spontann karena anak diberi kesempatan untuk berdiskusio dan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Namun tidak menutup kemungkinan akan berkembang pada sifat membangkang dan tidak menurut serta susahb menyesuaikan diri.
2.         Pola authoratorian atau otoriter
Ditunjukan dengan sikap orangtua yang selalu menuntut kepatuhan anak, mendikte, hubungan dengan anak kurang hangat, kaku dank eras, anak kurang mendapat kepercayaan dari orang tuanya, sering di hukum, dan apoabila berhasil atau berprestasi anak jarang diberi pujian dan hadiah. Pola asuh ini akan mernghasilkan anak dengan tingkah laku pasif dan cenderung menarik diri. Sikap orang tua yang keras akan menghambat inisiatif anak. Anak yang dididik dengan pola otoriter cenderung lebih agresif, serta cenderung memiliki kompetensi dan tanggung jawab seperti orang dewasa.
Pola asuh ini memberikan sedikit tuntutan dan sedikit disiplin. Orang tua tidak menuntut anak untuk bertanggung jawab terhadap urusan ruah tangga, keinginan dan sikap serta perilaku anak selalu diterima dan disetujia oleh orang tua. Anak tidak terlatih untuk mantaati peraturan yang berlaku, serta menganggap bahwa orang tua bukan merupakan tokoh yang aktif dan bertanggung jawab.
3.         Pola Permisive (permisif)
Karena orang tua bersikap serba bebas dan memperbolehkan segal sesuatunya tanpa menunutu anak, maka anak yang di asuh dengan pola permisif cenderung kurang berorientasi kepada prestasi, egois, suka memaksakan keinginannya, kemandirian yang rendah, serta kurang bertanggung jawab. Anak juga akan berperilaku agresif dan antisocial, karena sejak awal tidak diajarkan untuk mematuhi peraturan social, tidak pernah diberi hukuman ketika melanggar peraturan yang telah ditetapkan orang tua. Bagi anak, kehadiran orang tua merupakan sumber bagi tercapainya anak.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh sangat penting peranannya dalam pebentukan kepribadian serta aspek-aspek pembentuk kepribadian diantaranya adalah emosi, social, motivasi, intelektual dan spiritual. Hal ini berguna untuk mencapai kedewasaan yang matang hingga terwujud kepribadian yang sukses dalam diri anak.
B.     Landasan Teori
Selo soemarjan dan Soelaiman Soemardi bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antar berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antar segi hukum dengan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dengan segi kehidupan ekonomi dan sebagainya.
            Dalam mempelajari dan mengembangkan keilmuan terutama ilmu sosial, digunakan berbagai teori yang digunakan untuk menerangkan segala fenomena sosial yang terjadi di sekeliling kita. Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih atau pengeturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu hal yang dapat di amati dan pada umumnya dapat di uji secara empiris (Soekanto, 1990). Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi, dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena social secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Dan teori-teori inilah suatu fenomena social dapat dipahami dan dapat diterangka, terutama fenomena-fenomena social yang muncul dan perspektif sosiologis.
Dalam penelitian ini, paradigma yang digunakan adalah paradigma fakta social. Fakta social memandang hidup masyarakatnya dalam makrostrukturnya. Masyarakat di lihat sebagai kenyataan yang berdiri lepas dari soal apakah individu-individu tersebut suka atau tidak. Masyarakat dalam strukturnya yaitu benytuk, pengorganisasiannya, undang-undang dan peraturan, peranan-peranan, nilai-nilai dan apa yang disebut pranata-pranat social, merupakan barang atau suatu fakta yang terpisah dari individu namun mempengaruhinya (Ritzer, 1992:22-23).
Durkheim (Dalam Johnson, 1988:17) menyatakan bahwa fakta social sebagai suatu yang berada di luar individu dan bersifat memaksa terhyadapnya. Secara lebih terinci, Durkheim menjelaskan tiga karakteristik dasar fakta social yaitu:
1.      Bersifat eksternal terhadap individu
2.      Bersifat memaksa individu
3.      Bersifat umum atau tersebar dalam masyarakat
Selanjutnya dari empat teori yang ada dalam fakta social yaitu, teori struktur funsional, teori konflik, teori system, dan teori sosiologi maro (Ritzer, 1992:24), teori yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini adalah teori fungsionalisme struktur, yang menekankan pada keteraturan social dan perubahan-perubahan pada fungsi masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri dan saling menyatu dalam keseimbangan dimana perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan menyebabkan perubahan terhadap yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system social fungsional terhadap yang lain. Dengan kata lain semua peristiwa atau semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat (Ritzer. 1992:25).
Robert K. Merton (dalam Rizer, 1992:25) menyatakan bahwa objek analisis sosiologi adalah fakta social seperti peranan social, pola-pola institusi, proses social, organisasi kelompok, pengendalian social, dan sebagainya. Lebih lanjut Robert K. Merton berusaha menunjukan bagaimana sejumlah struktur social memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat dan mereka lebih non-konformis ketimbang konformis.
Berdasarkan paradigma fakta social, teori funsionalisme structural yang dipelopori oleh Talcott Parson dan Robert K. Merton, menjadi dasar teori dalam penelitian ini. Teori fungsionalisme structural menitikberatkan pada keteraturan yang fungsioanal dan suatu system yang normal dan seimbang. Dalam teori ini, masyarakat merupakan suatu sistem social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Mac Iver (Soekanto, 1990:337) menyatakan bahwa perubahan-perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan dalam keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional dalam yang lain. Tiap fenomena sosial mempunyai akibat-akibat objektif, baik positif maupun negatif, baik yang disadari taupun tidak. Analisis akibat-akibat itu dapat membantu mengerti apa sebabnya fenomena-fenomena itu dipertahankan, diubah atau dibatalkan. Prinsip penerapan yang dipakai ialah adaptasi hidup bersama manusia dengan situasi dan lingkungannya. Perubahan yang terjadi bermanfaat (fungsioanal) diterima dan perubahan lain yang terbukti tidak berguna (disfungsional) ditolak.
Menurut teori struktur fungsional setiap fenomena yang ada dalam masyarakat tertentu serba fungsional dalam artian positif dan negatif. Di sini suatu pranata atau institusi tertentu dapat fungsional bagi suatu unit sosial tertentu dan sebaliknya dis-fungsional bagi unit sosial yang lain. Penganut teori struktural fungsional tidak mengabaikan konflik dan perubahan sosial dalam teori mereka, tetapi penganut teori fungsional struktural modern melengkapi dirinya dengan konsep-konsep seperti fungsi, dis-fungsi, fungsi laten dan keseimbangan telah banyak menjuruskan perhatian pada sosiolog kepada persoalan konflik dan perubahan sosial. Merton membedakan antara fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang diharapkan (intended) sedangkan fungsi laten adalah sebaliknya yaitu fungsi yang tidak diharapkan.
Pola pengasuhan pada keluarga penjaga kos di sekaran, gunungpati dilihat dari teori structural fungsional, adalah fungsional artinya dengan adanya pola pengasuhan anak pada keluarga penjaga kost diharapkan dapat menghasilkan perilaku anak yang baik dan mandiri. Dalam pola pengasuhan terkandung, bagaimana orang tua mendidik anak yang meliputi penanaman norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Hal tersebut dalam sosiologi modern termasuk dalam pranata sosial yang meliputi keluarga, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agam, dan ilmu pengetahuan. Pola pengasuhan anak masuk dalam pranata sosial yang khusus yaitu keluarga inti yang menekankan pada kedudukan orang tua dan kedudukan anak.
C.     Kerangka Berpikir
Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti membuat kerangka berpikir sebagai berikut:
gbr. BAGAN KERANGKA BERPIKIR
Keterangan bagan:
Dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya, keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dan pertama dalam kehidupan sosial dimana ia manusia belajar dan menyatakan dirinya sebagai bmanusia sosial didalam hubungan internal dalam kelompoknya. Hubungan antara anak dan orang tua sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Melalui orang tualah anak mengenal dunia luar di kehidupan sosialnya. Dengan menggunakan pola-pola yang sudah terbentuk dalam masyarakat, orang tua mendidik anak-anaknya sehingga akan mempengaruhi tindakan dan aktivitas anak di dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar